Sawo, Ketumbar, Daun Bawang?
Sabtu, 16 November 2013. Seperti biasa, saya yang selalu terburu-buru dan grasak-grusuk sebelum meninggalkan rumah untuk berkegiatan, hari itu tidak sempat untuk sarapan sampai kenyang. Perjalanan sekitar satu jam dengan kereta api tentu saja menghabiskan energi yang hanya saya dapatkan dari setangkup roti. Apalagi, kereta api tujuan Bogor hari itu cukup penuh. Maklum, akhir pekan. Kota Bogor masih merupakan kawasan yang diminati penduduk kota yang sedang bosan.
Di akhir pekan itu, saya bukan
berangkat ke Kota Bogor untuk liburan. Saya berangkat menuju Desa Susukan,
sebuah desa yang terletak di Kabupaten Bogor. Hari itu saya dan beberapa teman ditugaskan
untuk mengajar siswi-siswi SMP di PKBM Nurul Jannah, sebuah sekolah informal
yang didirikan untuk mendukung anak-anak kurang mampu agar dapat mengenyam
bangku pendidikan.
Sesampainya di Desa Susukan,
perut saya yang sudah keroncongan akhirnya diam setelah diisi sepiring nasi,
dengan lauk mi goring rasa rendang. Rasa kesukaan. Karena lapar, sepiring nasi
habis dengan cepat sekali, dan tidak terasa waktu untuk mengajar sudah
menghampiri. Waktu itu hampir pukul satu siang, kami pun melaksanakan
sembahyang sebelum masuk ke dalam kelas masing-masing.
Setelah sembahyang, kami
berangkat ke lokasi pengajaran, yakni PKBM Nurul Jannah. Penampilan sekolah ini
memang cukup unik, bangunan sekolah hanya terdiri dari beberapa kelas, mungkin
hanya empat atau lima. Kelas-kelas tersebut pun hanya dibatasi oleh kisi-kisi.
Alhasil, suara dari satu ruangan dapat dengan jelas terdengar dari ruangan
lainnya. Hal ini menjadi tantangan tersendiri, terutama bagi saya, dalam hal
mengasah konsentrasi. Selain itu, di dalam kelas, siswa belajar dengan duduk di
atas karpet dan menulis di meja kayu kecil yang tingginya mungkin hanya sekitar
delapan puluh senti.
Ketika masuk ke dalam kelas, saya
disambut oleh empat orang siswi SMP yang sudah duduk rapi di atas karpet tempat
mereka biasa belajar. Saya pun memperkenalkan diri dan berkenalan dengan
mereka. Impresi pertama yang saya dapatkan adalah: mereka masih muda sekali.
Umur mereka masih sekitar dua belas tahun dan mereka baru duduk di kelas VII,
tetapi semangat belajar mereka cukup tinggi. Saya yakin tidak mudah untuk melangkahkan
kaki ke tempat belajar pada siang hari di akhir pekan. Bahkan, saat saya masih
seumur mereka, akhir pekan saya selalu dihabiskan dengan menonton film kartun
kesukaan. Jadi saya yakin empat orang itu adalah anak-anak yang hebat dan penuh
semangat.
Sekitar satu-dua menit setelah
perkenalan, seorang anak lain masuk ke dalam ruangan. Ternyata anak itu juga
salah satu siswa PKBM, meski saat ini ia bersekolah di kelas VIII. Usianya
sekitar satu tahun lebih tua dibandingkan anak-anak lainnya. Awalnya saya tidak
menyangka, karena saya kira saya akan mengajar anak-anak yang jenjang
pendidikannya setara. Tetapi, akhirnya perbedaan ini menjadi tantangan bagi
saya untuk mencari tahu bagaimana memberikan materi pelajaran yang sesuai
dengan kebutuhan dan dapat dicerna oleh keduanya.
Pelajaran bahasa inggris hari itu
dimulai dengan pengenalan berbagai jenis teks dalam bahasa Inggris. Rencana
awal saya adalah mengajar tentang grammar,
tetapi nampaknya hal itu belum dibutuhkan. Saya semakin yakin bahwa grammar bukan menjadi kebutuhan setelah
saya melihat lembar-lembar ujian yang dipinjamkan siswi-siswi tersebut kepada
saya. Ketika melihat soal-soal tersebut, terlihat bahwa pelajaran bahasa
Inggris yang mereka pelajari masih benar-benar dasar, lebih banyak berputar di
lingkup kosakata atau istilah-istilah sehari-hari yang dapat ditemukan di
lingkungan harian, seperti rumah, sekolah, atau pasar. Akhirnya, saya
memutuskan untuk mengajarkan istilah-istilah penting dalam kehidupan
sehari-hari saja sebagai pembekalan dasar untuk mereka.
Kami mempelajari kosakata penting
terkait rumah, keluarga, serta lingkungan pasar. Ternyata pengetahuan mereka
tentang istilah-istilah dalam bahasa Inggris sudah cukup baik, meski belum
optimal. Kata-kata yang bersifat sangat umum seperti “mother”, “father”, atau
“bedroom” sudah cukup familiar untuk
mereka; namun, kata-kata yang sedikit lebih kompleks seperti “nephew” ataupun
“dining room” nampaknya masih sering mereka lupakan.
Kami juga mempelajari cara
pengucapan kata-kata dalam bahasa Inggris dengan baik, dan lagi-lagi anak-anak
PKBM Nurul Jannah membuat saya kagum. Kali ini karena keberanian mereka untuk
mencoba. Meski pengucapan mereka awalnya belum sepenuhnya benar, mereka tidak
takut untuk mencoba mengucapkan kata-kata berbahasa Inggris dengan baik di
depan kawan-kawan mereka. Tidak takut. Tanpa malu-malu.
Bukan hanya itu, hal lainnya yang
bagi saya sangat menarik dari proses belajar-mengajar hari itu adalah terkait
diversitas pola pikir anak-anak tersebut, yang menurut saya cukup berbeda dengan
anak-anak kota. Sebagai contoh, ketika saya meminta mereka untuk menyebutkan
nama sayuran ataupun buah untuk nantinya ditranslasikan ke dalam bahasa
Inggris, mereka mengajukan nama sayuran dan buah yang bahasa Inggrisnya tidak
pernah terlintas di pikiran saya seperti “daun bawang”, “ketumbar”, hingga
“sawo”. Benar-benar di luar dugaan.
Kata-kata itu mungkin memang
menggambarkan kehidupan sehari-hari mereka yang belum banyak tepengaruh oleh
ingar-bingar kota maupun nyamannya pasar swalayan. Pemikiran yang mungkin
sangat berbeda dengan pemikiran anak kota. Menarik sekali. Saat itu saya harus
bolak-balik melihat kamus untuk mencari tahu padanan kata-kata tersebut dalam
bahasa Inggris. Saya senang, karena hari itu bukan hanya mereka yang belajar,
saya pun banyak belajar karena mereka.
Di penghujung hari, sungguh
terasa bahwa ber-akhir-pekan di desa Susukan memberi banyak pelajaran. Meski
waktu bersantai di akhir pekan berkurang, namun pengalaman hidup dan kekayaan
cara pandang justru bertambah. Terima kasih PKBM Nurul Jannah Susukan, sampai
jumpa di pertemuan yang akan datang!
huawei... mantap! Bacanya bikin seneng :D
ReplyDeletejadi apaan bahasa Inggrisnya Sawo, Ketumbar, sama Daun bawang tar?